Oleh: Salim A Fillah
Sya‘ban adalah bulan ke-8
dalam Hijriah, terletak antara 2 bulan yang dimuliakan yakni Rajab
& Ramadhan. Tentangnya RasuluLlah bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
Sya‘ban; bulan yang sering dilalaikan insan; antara Rajab dan Ramadhan.
وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Sya‘ban adalah bulan di mana
amal-amal diangkat kepada Rabb Semesta Alam; maka aku suka jika amalku
diangkat, sedang aku dalam keadaan puasa. ” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Karena itu, berdasar riwayat shahih
disebutkan bahwa RasuluLlah SAW berpuasa pada sebagian besar hari di
bulan Sya‘ban. ‘Aisyah berkata:
فَما رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Tak kulihat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassallam menyempurnakan puasanya dalam sebulan penuh, selain di
bulan Ramadhan. Dan tidak aku lihat bulan yang beliau paling banyak
berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban“. (HR Al Bukhari & Muslim).
Dalam Shahih Al Bukhari (1970) ada
tambahan dari ‘Aisyah: “Tidak ada bulan yang Nabi SAW lebih banyak
berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban. Sesungguhnya beliau berpuasa
pada bulan Sya’ban seluruhnya.” Maksud hadits: beliau berpuasa pada
sebagian besar hari-hari bulan Sya‘ban, sebagaimana banyak riwayat lain
yang menyatakan demikian.
Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang bisa
mengatakan ‘berpuasa sebulan penuh’ padahal yang dimaksud adalah
berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu.’ Demikian keterangan
Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam Fathul Bari, 4/213.
Maka berpuasa di bulan Sya‘ban adalah
utama, karena: ’Amal-’amal manusia (secara tahunan) sedang diangkat ke
hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Sya‘ban ialah bulan yang disepelekan;
beramal dan menghidupkan syi’ar di saat manusia lain lalai memiliki
keutamaan tersendiri. Selain kedua hal itu, puasa di bulan Sya‘ban juga
dimaknai sebagai: Penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan
Ramadan.
Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya
didahului oleh pembuka yang mengawalinya; Haji diawali persiapan Ihram
di Miqat, Shalat juga diawali dengan bersuci, berwudhu’, dan
persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat.
Hikmah lain: puasa di bulan Sya‘ban akan
membuat tubuh mulai terbiasa untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan
Ramadhan dengan optimal. Sebab sering di awal Ramadhan banyak daya dan
waktu habis untuk penyesuaian diri; padahal tiap detik bulan mulia
sangat berharga.
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
mencantumkan pendapat: puasa Sya‘ban seumpama sunnah Rawatib
(pengiring) bagi puasa Ramadhan. Untuk shalat; ada rawatib qabliyah dan
ba’diyah. Untuk Ramadhan, qabliyahnya; puasa Sya‘ban dan ba’diyahnya;
puasa 6 hari di bulan Syawal. Keutamaan Sya‘ban bisa kita lihat di:
Tahdzib Sunan Abu Dawud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244.
Nah, bagaimana tentang Nishfu Sya’ban?
Hadits-hadits terkait Nishfu Sya‘ban ini
sebagian dikategorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi
dikategorikan maudhu’ (palsu). Utamanya hadits yang mengkhususkan ibadah
tertentu atau yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan
tertentu.
Tetapi, ada sebuah hadits yang berisi
keutamaan malam Nisfhu Sya‘ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan
ibadah-ibadah tertentu.
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah memeriksa pada
setiap malam Nisfhu Sya‘ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya,
kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya.” (HR Ibnu Majah (1390)).
Dalam Zawa’id-nya, riwayat ini
dianggap dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah. Tetapi, Ath
Thabrani juga meriwayatkannya dari Mu’adz ibn Jabal dalam Mu’jamul Kabir
(215) . Ibnu Hibban juga mencantumkan hadits ini dalam Shahihnya
(5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642).
Al-Arna’uth dalam ta’liqnya pada dua kitab terakhir berkata, “SHAHIH
dengan syawahid (riwayat-riwayat semakna yang mendukung).”
Al-Albani juga menilai hadits Nishfu
Sya‘ban ini SHAHIH {Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), Shahih
Targhib wa Tarhib (1026)} Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun
malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat KEUTAMAAN.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, 291)
Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari
kalangan TABI’IN di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Luqman
bin Amir yang menghidupkan malam tersebut dengan berkumpul di
masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu Sya‘ban.
Dari merekalah kaum muslimin mengambil
kebiasaan itu. Imam Ishaq ibn Rahawayh menegaskannya dengan berkata,
“Ini BUKAN BID’AH!”.‘Ulama Syam lain, di antaranya Al-Auza’i, TIDAK
MENYUKAI perbuatan berkumpul di masjid untuk shalat dan berdoa bersama
di Nishfu Sya‘ban.
Tetapi beliau -dan ‘ulama yang lain-
MENYETUJUI keutamaan shalat, baca Al Quran dll. pada Nishfu Sya‘ban jika
dilakukan sendiri-sendiri. Pendapat ini yang dikuatkan Ibn Rajab
Al-Hanbali (Latha’iful Ma’arif, 151) dan Ibn Taimiyah (Mukhtashar Fatawa Al Mishriyah, 292)
Adapun ‘ulama Hijaz seperti Atha’, Ibnu
Abi Mulaikah, dan para pengikut Imam Malik menganggap hal terkait
Nishfu Sya‘ban sebagai bid’ah.
Tapi kata mereka; qiyamullail sebagaimana tersunnah pada malam lain dan puasa di siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik.
Demikian agar perbedaan pendapat ini
difahami dan tak menghalangi kita untuk melaksanakan segala ‘amal
ibadah utama pada bulan Sya‘ban. Bulan Sya‘ban adalah juga kesempatan
tuk meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan kemarin sebelum datangnya Ramadhan
berikut. ‘Aisyah berkata:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فما أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شعبَان، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
“Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak
dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya‘ban, karena sibuk melayani
Nabi”. (HR Al Bukhari-Muslim)
Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 8/21)
& Ibn Hajar (Fathul Bari, 4/189) menjelaskan; dari hadits ‘Aisyah
ini disimpulkan: Jika ada ‘udzur, maka qadha’ puasa bisa diakhirkan
sampai bulan Sya‘ban. Tanpa ‘udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dst
lebih utama.
Sya‘ban: Bagaimana jika lalai; tanpa
‘udzur, hutang puasa belum terbayar, tapi Ramadhan baru telah datang?
Jumhur ‘ulama berpendapat:
Dia harus beristighfar atas kelalaiannya
pada kewajiban itu dan harus bertekad untuk segera meng-qadha’-nya
setelah Ramadhan ini.
Menurut mereka, tiada kewajiban khusus
selain hal itu. Tetapi sebagian ‘ulama berpendapat agar si lalai
menambahkan 1 hal lagi. Yakni mengeluarkan 1/2 Sha’ makanan pokok (+/-
1,5 kg) untuk tiap hari yang terlalai belum dibayar hutang puasanya
tahun lalu.
Ini sebagai pengingat atas kelalaiannya
dan dia harus tetap mengganti puasa yang terlalai diganti tahun ini pada
tahun depannya. Ini berdasar ijtihad beberapa sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi Wassallam. Tak ada nash khususnya, tetapi ijtihad ini dianggap
baik. (Fathul Bari, 4/189)
Jika masuk bulan Sya‘ban, hendaknya kita
saling mengingatkan (juga terutama pada kaum wanita) yang punya hutang
puasa agar ditunaikan.
Sehari atau 2 hari terakhir Sya‘ban
dinamakan Yaumusy-Syakk (hari keraguan), sebab ketidakjelasan apa sudah
masuk Ramadhan atau belum.
Nabi bersabda: لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan
dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang
(memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka
hendaklah ia berpuasa.” {HR Al Bukhari & Muslim}
Maknanya; terlarang tuk sengaja
mengkhususkan berpuasa pada Yaumusy Syakk. Tetapi boleh bagi yang HARUS
(nadzar, qadha’, dll) dan boleh juga yang BIASA (karena puasa Dawud,
bertepatan Senin/Kamis, dll). Hikmah pelarangan itu sekedar sebagai
pemisah antara puasa Ramadhan yang fardhu dengan puasa
sebelum/sesudahnya yang sunnah. (Syarh Muslim 7/194, Latha’iful Ma’arif 151)
Demikian Shalihin dan shalihat bincang kita tentang Sya‘ban.
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah; berkahi kami di bulan Sya’ban, karuniakan taufiq pada kami di dalamnya, & sampaikan kami ke bulan Ramadhan.”
Salim A Fillah adalah penulis buku Lapis Lapis Berkah. Twitter @salimafillah
(www.hidayatullah.com)
3 comments:
thank for the post, i really happy to visit your website obatpolipempedu.mkes.info/
thank for the post, succesfull and healthy always eyecaresoftgel.mkes.info/
Hidup adalah Kesusahan yang harus diatasi Obat Polip Lambung Tradisional Alami. Rahasia yang harus digali. Tragedi yang harus dialami. Kegembiraan yang harus dibagikan. Cinta yang harus dinikmati, dan Tugas yang harus dilaksanakan. Inilah hidup sebagai romantika yang harus dirangkul. Resiko yang harus diambil. Lagu yang harus dinyanyikan Obat Polip Lambung Tradisional Alami. Anugerah yang harus dipergunakan. Berkah yang harus dicapai., dan mimpi yang harus diwujudkan.
Post a Comment