Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
JAMAN dahulu kaum Muktazilah menganggap Al-Quran
sebagai makhlūq (baharu, diciptakan, tidak qadīm) sudah dianggap
sedemikian demikian “liberal”. Padahal mereka tidak menginginkan adanya ta‘addud al-qudamā’ (banyaknya yang qadīm selain Allah).
Namun kaum liberal sekarang sepertinya sudah jauh melampaui kaum
Muktazilah itu. Karena sudah banyak yang berani menghujat Al-Quran.
Alasannya untuk kritik, namun bermula dan berakhir tanpa etik.
Dari Mesir, misalnya, muncul seorang yang bernama Nasr Hamid Abū Zayd yang mengatakan bahwa Al-Quran merupakan “produk budaya” (muntāj tsaqāfī) dalam bukunya Mafhūm al-Naṣṣ.
Karena Muhammad bukan penerima yang pasif. Dia benar-benar aktif.
Demikian menurut Abū Zayd. Dan dari Perancis muncul Mohammed Arkoun yang
mengatakan bahwa sejak ‘Utsmān ibn ‘Affān membukukan Al-Quran ia
berubah menjadi “Korpus Resmi Tertutup” (Closed Official Corpus):
tidak bisa lagi dikutak-katik, yang seharusnya terbuka. Itu menurut
Arkoun. Islam sepertinya harus dipikirkan ulang, katanya dalam
Rethinking Islam.
Disamping itu, hujatan kepada Al-Quran datang dari luar, utamanya
orientalis. Dan jika dijabarkan ternyata isi orientalis adalah kaum
Yahudi dan Kristen. Semuanya menghujat Al-Quran. Diantaranya, mereka
menyatakan bahwa Al-Quran dianggap menjiplak Bible bahkan mengandung
mitos-mitos terdahulu. Jadi, tidak ada hal baru dalam Al-Quran. Semuanya
jiplakan. (Lihat, Qosim Nursheha Dzulhadi, “Studi Al-Quran Orientalis
(Tesis di Universitas Darussalam, Gontor, 2011”). Namun hujatan kaum
orientalis masih dapat dimaklumi. Karena mereka adalah orang-orang yang
tak percaya kepada Al-Quran sebagai wahyu. Yang aneh hujatan itu datang
dari dalam, seperti disebutkan sebelumnya.
Dan ternyata, hujatan itu terus berlanjut. Seperti lari estafet:
sambung-menyambung menjadi satu. Sulawi Ruba, misalnya, dosen di UIN
Sunan Kalijaga menganggap Al-Quran tidak ada apa-apanya. Ia sama saja
dengan rumput. Jadi, bisa dipijak. Dan itu dia sampaikan di hadapan
mahasiswa yang diajarnya. Dan terakhir, seorang dosen di Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) dikabarkan menginjak Al-Quran. Dengan
enteng dia mengatakan, “Saya memang menginjak. Tapi saya istighfar.”
Sungguh aneh tapi nyata.
Problem Ilmu dan Adab
Sejatinya, hujatan terhadap Al-Quran berkaitan-erat dengan konsep
ilmu. Karena di dalam Islam ilmu itu harus berbanding-lurus dengan iman
dan amal. Ilmu adalah gizi iman dan iman itu buah ilmu. Iman kemudian
mewujud dalam amal-shaleh. Karena ilmu yang tidak diamalkan, laksana
pohon tanpa buah. Dalam bahasa Imam al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M), al-‘amal bilā ‘ilm saqīm. Wa al-‘ilm bilā al-‘amal ‘aqīm
(amal tanpa ilmu itu sakit. Dan ilmu tanpa amal mandul). Dan salah satu
wujud dari buah ilmu itu adalah adab (etika, akhlaq). Artinya, seorang
‘ālim harus beradab. Dan bentuk adabnya adalah kasyyah (rasa takut)
kepada Allah (QS: Fāṭir [35]: 28).
Dan ternyata, di ranah ilmu dan adab inilah saat ini menjadi
tantangan umat yang paling serius. Terutama tantangan para ulama,
intelektual, dan pendidiknya. Dimana banyak intelektual yang, dalam
bahasa Prof. al-Attas (l. 1931), lost of adab (kehilangan adab). Dan
fenomena lost of adab ini merupakan penyakit kronis yang menjangkiti
sebagian intelektual Muslim. Sehingga lahirlah para intelektual yang
rajin menghujat Al-Quran bahkan sampai ada yang sangat berani menginjak
Al-Quran.
Dan kemungkinan besar mengapa muncul hujatan terhadap Al-Quran adalah
karena ilmu dan adab yang minim tentang Al-Quran. Diantaranya adalah
ilmu yang menegaskan bahwa Al-Quran itu adalah Kalāmullāh yang
suci (sakral), bukan buatan manusia. Ketika ia diyakini sebagai Firman
Allah di situ harus muncul proses pengagungan terhadap Al-Quran (ta‘zhīm al-Qur’ān). Jika tidak ada ilmu tentang Al-Quran sebagai Firman Allah, rasa takut (al-khasyyah) tidak akan muncul. Ketika ia tidak muncul, maka yang ada adalah pelecehan dan hujatan terhadpnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa ilmu memang tidak serta-merta menjadikan
pemiliknya takut kepada Allah. Tergantung ilmu yang dia pelajari mau
dijadikan apa. Sehingga ‘Abdullāh ibn ‘Abbās menyatakan, “Ilmu itu ada
dua jenis: ilmu yang bersemayam di dalam hati dan ini ilmu yang
bermanfaat. Dan ilmu yang hanya keluar dari lisan saja. Ilmu model ini
hanya merupakan cara Allah menyesatkan seorang hamba.”
Itu sebabnya dalam Bidāyat al-Hidāyah Imam al-Ghazali (w.
505 H/1111 M) mengutip satu hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
yang berbunyi, “Siapa saja yang bertambah ilmunya namun tidak bertamah
hidayahnya. Maka ia akan semakin jauh dari Allah.” Lebih dahsyat lagi
adalah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. yang menyatakan,
“Manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah seorang ‘ālim
yang ilmunya tidak dimanfaatkan oleh Allah.” (Lihat, Imam Abū Ḥāmid
al-Ghazālī, Biāyat al-Hidāyah (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, Cet.
I, 1431 H/2010 M), 10).
Kalau demikian, problem sesungguhnya adalah pada ilmu (al-‘ilm) yang
benar. Namun tidak sekadar ilmu. Melainkan ilmu yang prosesnya benar,
cara menghasilkannya benar, dan tujuannya benar. Ini harus pula
dikaitkan dengan konsep niat di dalam menuntut ilmu. Karena seseorang
akan mendapat apapun dari amalnya tergantung niatnya. Kalau niat dalam
menuntut ilmu sudah rusak, maka ilmu pun akan digunakan pada
tujuan-tujuan yang tidak benar.
Padahal, dalam sebuah sabdanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam sudah mengingatkan, “Siapa yang menuntut ilmu untuk
berbangga-bangga kepada ulama atau hanya untuk mempermainkan orang-orang
bodoh atau agar manusia meliriknya, maka Allah akan masukkan dia ke
dalam neraka.” (Lihat, Imam al-Ghazali, Minhāj al-‘Ābidīn (Singapura-Jeddah-Indonesia: al-Haramain, tt., 9).
Itulah problem keilmuan yang sesungguhnya: problem niat adan adab.
Yang saat ini sepertinya sudah mulai luntur. Ijazah sepertinya sudah
banyak yang mendahulukan. Tapi adab dalam menuntut ilmu menjadi hal yang
pinggiran. Maka tidak heran kalau akhir-akhir ini banyak terjadi
hujatan terhadap Al-Quran. Karena kitab suci ini sudah tidak lagi
dihormati sebagai Firman Tuhan. Padahal jika konsep ilmu dan paham
adab-nya mapan, tidak akan terjadi hujatan. Karena, dalam bahasa A.
Qodri Azizy, Al-Quran dan hadits tidak mungkin diacak-acak karena ia
adalah wahyu. Karena perwujudan ijmā‘ Sahabat sudah jelas. (A. Qodri
Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu,
2003: 14). Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.*
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah,
Medan-Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di
Indonesia”
(www.hidayatullah.com)
0 comments:
Post a Comment